Berhimpunlah untuk sejuta Aksi Hikmat demi Kesatuan dalam Kasih, seperti KRISTUS telah "Menebus" kita demi suatu hubungan yang Kekal.(Baziz Boeghi’z IPTH B 0708)

Senin, 10 Januari 2011

PLURALISME & SIMBOLISME DALAM AGAMA


Abdy Busthan
Ketika Gereja hadir dan mendeklarasikan dirinya didalam dunia, maka secara langsung maupun tidak langsung, Gereja tersebut akan berhadapan dengan 3 (Tiga) hal, yaitu : Lingkungan sekitar, Agama-agama lain dan Negara. Ketiga hal tersebut adalah merupakan kenyataan “Aksiomatis”, yang dipandang sebagai bagian dari kehidupan bergereja itu sendiri dan tidak dapat dilenyapkan tetapi haruslah di sikapi.
Disini Gereja harus menyadari bahwa diluar lingkungan Gereja (Lingkungan Eksternal), ada Perbedaan yang harus di sikapi. Karena hidup bukanlah hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, karena dengan perbedaan kita bisa belajar untuk saling menghargai satu dengan yang lainnya. Namun haruslah disadari pula, bahwa hidup dalam perbedaan sangat berpotensi menimbulkan gesekan, konflik, tindakan anarkis dan lain-lainnya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Karena itu, sangatlah dibutuhkan sikap toleransi dalam hidup bersama dan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya. Sebagai suatu Lembaga, maka Agama seharusnya memiliki peran yang konstruktif (membangun).
Pada kenyataannya, justru Agama bisa menimbulkan berbagai masalah baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan karna kurangnya pemahaman tentang cara hidup dalam kebersamaan. Untuk itu, sebagai warga atau pemuda-pemudi dalam Gereja maka kita harus menyikapi hal ini secara kritis.
Terdapat dua hal yang sering mendasari terjadinya konflik antar umat beragama di Indonesia bahkan di seluruh dunia, yakni kurangnya pemahaman tentang makna Simbolisme dan Pluralisme atau Kerukunan antar umat beragama.
1.   Simbolisme Di dalam Agama
Kata ”Simbol” berasal dari bahasa Yunani yakni sumbolon yang berarti ”Tanda pengingat” (benda ingat-ingatan). Dimana bila dua orang pernah berkenalan, lalu salah seorang dari mereka memberi suatu benda atau kata sandi sebagai kenang-kenangan kepada yang lain ketika hendak berpisah. kemudian ketika mereka bertemu lagi maka benda atau kata sandi itu dapat ditunjukkan sebagai tanda pengenal. Contoh lainnya, ketika kita hendak bepergian dalam waktu yang lama atau meninggalkan kampung halaman kita untuk merantau ke kampung atau tempat lain, biasanya orang tua kita sering memberikan sesuatu yang berupa benda seperti kalung, cincin, baju, selendang dan sejenisnya, agar kita dapat mengingat orang tua kita ketika berada di tempat perantauan. Misalnya juga seorang bayi ketika baru lahir diRumah Sakit biasanya langsung diberikan tanda agar tidak tertukar.
Begitupun dalam keseharian terkadang kita berpindah dari satu simbol ke simbol lainnya. Seperti nama panggilan kita. Aku Amos, kadang ada yang panggil Bro, dipanggil Pak juga boleh, dan banyak lagi. Apakah esensi kita berubah ? jawabannya sudah pasti tidak. Apakah yang memanggilku salah orang ? juga tidak. Tapi dalam lingkungan dimana kita berada, kita disimbolkan dengan Amos, sahabat sejatinya Petrus. Jadi, nama kita juga merupakan tanda dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan simbolisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan simbol atau lambang tertentu untuk mengekspresikan gagasan tertentu. Dalam agama, simbol keagamaan juga memiliki fungsi sebagai tanda, pengingat, pelambang dari hal-hal yang agung ataupun menggambarkan peristiwa-peristiwa keagamaan yang terjadi. Dengan kata lain, simbol juga dapat dipahami sebagai sarana umat untuk mengerti agamanya.
Agama Kristen sendiri memiliki sejumlah simbol. Dan yang sangat populer adalah Salib. Namun pada masa awal Kekristenan, umat sering menggunakan dua simbol, yaitu sebagai berikut :
1)   Ayam jago (Matius 26 : 74-75)
2)   Ikan sebagai Simbol ;
ü Dalam bahasa Yunani ikan ditulis dengan huruf ; I-KH-TH-U-S dan ditafsirkan sebagai akronim dari Iesous (YESUS) Khristos (KRISTUS), Theou (ALLAH), hUios (ANAK) Soter (JURUSELAMAT) yakni Kristus Anak Allah Juruselamat.
ü Ikan juga melambangkan kisah Yunus, yang selama tiga hari berada dalam perut ikan. Dan peristiwa ini menunjuk pada Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.(Mat 12:40;bnd Yunus 2)
Beberapa contoh simbol Kekristenan
JENIS
UNGKAPAN BENTUK
Kata
Haleluyah, Syalom
Objek
Yerusalem, Sion, Pohon Anggur
Barang / Benda
Salib, Patung Bunda Maria / Yesus, Rosario, Jubah Pendeta, Minyak Urapan
Tindakan
Menutup mata dan melipat tangan, Mengangkat tangan untuk memberkati, Berlutut, Sakramen
Peristiwa
Natal, Paskah

Simbol atau tanda bukanlah suatu Keselamatan, melainkan hanya sebuah alat (Sakramentalia) untuk menuju kepada keselamatan yang sesungguhnya (Sakramen Sejati yaitu Allah). Jadi, kita tidak perlu untuk mengagung-agungkan suatu simbol keagamaan dengan berbagai tujuan. Karna hal ini dapat menyebabkan kita lebih melihat simbol tersebut dari pada apa yang disimbolkan. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan menimbulkan Kesombongan Rohani.
2.    Pluralisme Agama
Berdasarkan Kamus Kata-kata Asing dalam Bahasa Indonesia, Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk berdasarkan sudut pandang sosial. Khususnya dalam kondisi masyarakat ber-Agama di Indonesia yang majemuk (Lebih dari satu atau beraneka ragam). Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori.
a)      Kategori Sosial, dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya.
b)      Kategori Etika dan Moral, dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll.
c)      Kategori Teologi-Filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Faktor-faktor Pendorong Pluralisme Agama :
Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan adalah:
1)   Iklim Demokrasi : Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil dinegara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!
2)   Pragmatisme : Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3)   Relativisme : Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-win solution ke dalam area kebenaran.
4)   Perenialisme : Filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.
Reaksi Destruktif dalam Pluralisme :
1)   Fundamentalisme ; Suatu reaksi yang ingin menutup diri dengan cara menolak kehadiran serta hubungan dengan agama lain karena menganggap agamanya yang paling benar. Sikap demikian biasanya disertai dengan fanatisme dan eksklusifisme.
2)   Proselistisme : Pluralisme terjadi dalam perjumpaan dengan agama-agama lain, dimana agama seseorang Dipaksa atau Terpaksa berpindah pada keagamaan yang ditemui atau sebaliknya.
3)   Sinkritisme : Reaksi ini bersifat terbuka, dimana reaksi ini berusaha untuk mencari hal-hal baik dari agama lain untuk dapat diikuti bersama dengan agamanya sendiri.
Tinjauan Kritis : Pluralisme Agama Dalam Perspektik Kristen
Pluralisme agama memang menjanjikan perdamaian, karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, ”Semua agama sama-sama benar dan Semua agama menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya menyangkali Iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini.
a)      Pluralisme agama merupakan pendangkalan Iman : Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama maka kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya pada Nirwana dan Reinkarnasi. Nirwana adalah Keadaan Damai yang membahagiakan, yang merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi dimana Allah menghukum manusia”. Yang ada adalah reinkarnasi bagi mereka yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-masing.
b)     Pluralisme Agama memiliki dasar yang lemah : Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama adalah sebuah cara berpikir yang tidak tepat.Demi keharmonisan maka mengganggap semua agama benar adalah mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme kebenaran adalah sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera dan sudut pandang memang relatif.
c)      Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten : Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau partikularisme dalam  teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang  pluralis anti terhadap kaum eksklusivis maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai kaum eksklusivis.
d)     Pluralisme Agama menghasilkan toleransi yang semu : Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah toleransi yang semu. Toleransi yang sejati muncul dalam kalimat berikut, ”Meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
Tentang kemajemukan Agama, terdapat 3 (Tiga) sikap dalam komunitas Kristen yang perlu di waspadai agar tidak terjadi perselisihan antar umat beragama, yakni sebagai berikut :
1)      Eksklusif (Kebenaran dan Keselamatan hanya ada melalui jalan Kristus),
2)      Inklusif (Kristus juga hadir serta bekerja dikalangan mereka yang tidak mengenal Kristus),
3)      Pluralis (Allah dapat dikenal melalui bermacam-macam jalan)
Pertanyaan yang timbul sebagai reaksi dari Misi Penginjilan yang terdapat di dalam Kitab Matius 28 : 19-20 adalah : Bagaimanakah suatu Penginjilan dapat dilakukan jika seorang Kristen harus menggunakan sikap Pluralisme tersebut ? dan hal yang kedua, terkait dengan Jalan Keselamatan yang terdapat dalam Kitab Yohanes 14 : 6, ketika murid Yesus yang bernama Tomas bertanya kepada Yesus tentang Jalan keselamatan : Haruskah kita memandang setiap agama yang ada di indonesia sama-sama menuju kepada Keselamatan walaupun dengan jalan yang berbeda ? yang berarti bahwa semua agama yang ada merupakan jalan Keselamatan yang telah di kukuhkan oleh Yesus Kristus ? Untuk menjawab kedua hal tersebut, kita perlu melihat secara kritis dan bijaksana agar tercipta suatu kondisi yang kondusif dan selaras dalam menjalankan Misi Kristus didalam kehidupan yang Pluralistik . Seperti dalam kitab Matius 10 : 16, Gereja dan warga Gereja harus bisa menempatkan atau membawa diri dalam situasi dan kondisi dimana Gereja atau warga Gereja tersebut berada (Kontekstualisasi).
Kesimpulan 
Pluralisme harus di pahami sebagai semangat untuk Menghargai dengan Menghormati keyakinan agama lain. Dimana penganut Agama lain tidak dilihat sebagai musuh, lawan dan saingan. Sebaliknya mereka adalah kawan sekerja, saudara, sesama yang memiliki tujuan yang sama. Dan sesuai dengan Misi penginjilan, kita juga harus menyadari bahwa Pluralisme agama dalam pengetian teologi-filosofi memiliki kelemahan. Berdasarkan epistemologi Alkitab, kita harus menolak pandangan ”semua agama menuju pada Allah dan semua agama menyelamatkan”. Orang Kristen perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten. Fanatik adalah mempercayai sesuatu atau seseorang tanpa bersikap kritis terhadapnya. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah orang yang fanatik terhadap pluralisme agama. Akhirnya, tentu saja kita perlu menerima pluralisme agama secara sosial, tetapi pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi harus kita tolak dengan tegas.  ( Di Tulis Oleh : Abdy Busthan )